Minggu, 20 Mei 2018

Budaya Arak-Arakan Kuda



ARAK-ARAKAN KUDA JOGED MERIAHKAN KHOTMIL QUR’AN SEBAGAI TRADISI BUDAYA DAN SYI’AR AGAMA ISLAM DI KEBUMEN
Oleh: Erna
Mahaiswa S1 Program Studi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah UIN Sunan Kalijaga
Alamat email: ernaazzam1212@gmail.com


            Khotmil Quran atau yang biasa disebut dengan “kataman” oleh orang Kebumen, di definisikan sebagai acara yang merayakan selesainya anak (santri) dalam membaca al-Qur’an ( 30 juz), sesuai dengan pengertian dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), khataman adalah upacara selesai menamatkan membaca al-Qur’an para santri.
            Di kota yang berbatasan langsung dengan Samudra Hindia ini, Khataman sudah diadakan sejak dahulu dan sudah menjadi tradisi budaya. Tradisi ini telah berjalan secara turun-temurun sejak kedatangan Islam, tradisi yang sekaligus dijadikan syiar agama Islam ini diharapkan dapat meningkatkan semangat para santri untuk belajar al-Quran secara lisan maupun tulisan.
            Khataman diadakan di Masjid, Mushola, dan TPA (Tempat Pendidikan Al-Quran) diikuti oleh santri yang telah selesai belajar dan membaca al-Qur’an, biasanya diadakan bersamaan dengan peringatan hari besar Islam seperti, Isro Mi’roj dan Maulid Nabi Muhammad SAW ataupun even keagamaan lainnya yang diselenggarakan di Masjid tersebut, misalnya acara istoris, fatayatan dan muslimatan. Khataman biasanya bukan hanya diikuti oleh santri khotmil Qur’an saja tetapi juga diikuti oleh santri khotmil Qudus, yaitu santri yang telah menamatkan belajar  dan membaca kitab (misanya kitab Shufinah).

Para santri membaca al-Quran dimulai dari Q.S. ad-Duha sampai dengan Q.S. an-Nas dihadapan hadirin dilanjutkan dengan rangkaian acara lainnya, misalkan ceramah dari Ustadz dan hiburan, seperti penampilan rebbana. Hadirin yang datang dalam acara khataman bukan hanya dari desa tempat Masjid itu berada saja, tetapi juga dari luar desa tersebut, keluarga besar dari para santri, kyai-kyai, perangkat desa (lurah, kadus, dan bayan)   turut di undang dalam acara ini.
Khataman dilanjutkan dengan kemeriahan dari arak-arakan kuda, orang Kebumen menyebutnya “iring-iringan”, yaitu pawai kuda ditunggangi oleh para santri khotmil Qur’an, di arak keliling desa, berangkat dari Masjid dan berakhir di Masjid pula. Diramaikan  dengan beberapa pertunjukan dan aktraksi, seperti drum band, angklung, ondhel-ondhel, badut dan lainnya.
            Tujuan dari arak-arakan kuda ini adalah meningkatkan semangat para santri dalm belajar al-Quran, karena akan menjadi kebanggaan tersendiri jika sudah khatam di arak naik kuda keliling desa, hal ini juga menjadi kebanggan bagi orang tua santri dan keluarganya. Selain itu, tujuan khataman yang disampaikan oleh Anggota Koramil Ambal dan Kodim 0709 Kebumen, bahwa iring-iringan (arak-arakan) ini sebagai syiar Islam. Santri yang diarak yaitu anak usia SD sampai dengan SMP, bagi yang perempuan dirias cantik dengan mengenakan pakaian kebaya warna-warni, sedangkan yang laki-laki mengenakan pakain khas Jawa bahkan Melayu, ditambahi dengan aksesoris yang menarik, seperti keris dan blangkon.
            Dibarisan pertama terdapat mobil Polisi untuk melakukan pengawalan dan pengamanan kegiatan pawai khataman. Dilanjutkan dengan grup drum band dan beberapa kendaran seperti, odhong-odhong, kereta hias, sepeda hias, becak, delman dan mobil pick-up. Barisan kuda menjadi bagian inti dalam pawai ini. Kuda dihias seindah mungkin, diiringi lantunan musik tradisional bahkan populer dari alat-alat music tradisional seperti rodad, janeng, rebana (terbangan), gong, bass, dan bedug.   Kuda-kuda ber’joged’ mengikuti irama, sesekali mereka beraktraksi seakan-akan berdiri. Kuda yang diikutkan dalam pawai adalah kuda-kuda yang terlatih dan sehat fisiknya.
            Arak-arakan ini menjadi hiburan tersendiri bagi warga Kebumen sekaligus ajang mempererat persaudaran antar warga, karena pada saat arak-arakan berlangsung mereka berkumpul untuk menyaksikan arak-arakan, biasanya di pertigaan jalan tempat paling ramai dan menjadi tempat idaman para penonton, ditempat seperti ini pasukan pawai akan banyak beraktraksi, baik  pasukan kuda, grup drum-band, maupun grup lainnya.
Penonton arak-arakan bukan hanya dari warga setempat, tetapi juga dari desa lain. Di barisan belakang biasanya terdapat grup angklung dan grup rodad, pawai berlangsung selama 2-3 jam tergantung dari rute yang dilalui, panjang pendeknya barisan pawai tergantung dari jumlah kuda yang mengikuti arak-arakan, biasanya tidak semua santri menaiki kuda, ada pula yang naik kereta, becak, maupun delman.
Arak-arakan kuda tidak selalu dilaksanakan siang hari, bisa juga malam hari, jika dilaksanakan malam hari pasukan pawai akan ditambah dengan grup abid menggantikan grup drum-band, yaitu aktraksi menggunakan api dan obor diiringi musik rodad, dalam aktraksi abid, untuk menyalakan apinya menggunakan minyak tanah, sehingga akhir-akhir ini jarang diadakan arak-arakan pada malam hari, karena persediaan minyak tanah yang semakin sedikit dan harganya mahal, hal ini bukan penyalahan terhadap praktik kebudayaan, karena kebudayaan dipandang sebagai sesuatu yang dinamis, bukan sesuatu yang kaku dan statis (Faisal Ismail, 1997: 27)
Arak-arakan kuda ‘joged’ dan khataman sebagai tradisi budaya merupakan amanat dari nenek moyang dengan menitikberatkan pada pendalaman agama dan budaya yang harus dirawat dan dijaga kemurnianya, agar dalam praktiknya tidak menyalahi nilai, norma, dan tujuan awal. Pada hakikatnya agama identik dengan kebudayaan, keduanya merupakan pedoman bertindak dan sebagai petunjuk dalam kehidupan (Mundzirin Yusuf, dkk, 2005: 11), seperti halnya khataman dan arak-arakan kuda di Kebumen. Tradisi dan budaya ini menjadi kebanggan tersendiri bagi warga Kebumen, selain sebagi bentuk cinta budaya juga  sebagai sarana syiar agama Islam.
Daftar Referensi
Faisal, Ismail. 1996. Paradigma Kebudayaan Islam Studi Kritis dan Refleksi Historis. Yogyakarta: Titian Ilahi Press.
Yusuf , Mundzirin, dkk. 2005. Islam dan Budaya Lokal. Yogyakarta: Pokja Akademik.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
kebumenekspres.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar