ARAK-ARAKAN KUDA JOGED MERIAHKAN KHOTMIL QUR’AN SEBAGAI TRADISI
BUDAYA DAN SYI’AR AGAMA ISLAM DI KEBUMEN
Oleh: Erna
Mahaiswa S1 Program Studi Pendidikan
Guru Madrasah Ibtidaiyah UIN Sunan Kalijaga
Alamat email: ernaazzam1212@gmail.com
Khotmil Quran atau yang biasa
disebut dengan “kataman” oleh orang Kebumen, di definisikan sebagai acara yang
merayakan selesainya anak (santri) dalam membaca al-Qur’an ( 30 juz), sesuai
dengan pengertian dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), khataman
adalah upacara selesai menamatkan membaca
al-Qur’an para santri.
Di kota yang berbatasan langsung
dengan Samudra Hindia ini, Khataman sudah diadakan sejak dahulu dan sudah
menjadi tradisi budaya. Tradisi ini telah berjalan secara turun-temurun sejak
kedatangan Islam, tradisi yang sekaligus dijadikan syiar agama Islam ini
diharapkan dapat meningkatkan semangat para santri untuk belajar al-Quran
secara lisan maupun tulisan.
Khataman diadakan di Masjid,
Mushola, dan TPA (Tempat Pendidikan Al-Quran) diikuti oleh santri yang telah
selesai belajar dan membaca al-Qur’an, biasanya diadakan bersamaan dengan
peringatan hari besar Islam seperti, Isro Mi’roj dan Maulid Nabi Muhammad SAW
ataupun even keagamaan lainnya yang diselenggarakan di Masjid tersebut,
misalnya acara istoris, fatayatan dan muslimatan. Khataman biasanya bukan hanya
diikuti oleh santri khotmil Qur’an saja tetapi juga diikuti oleh santri khotmil
Qudus, yaitu santri yang telah menamatkan belajar dan membaca kitab (misanya kitab Shufinah).
Para santri membaca al-Quran dimulai dari Q.S. ad-Duha
sampai dengan Q.S. an-Nas dihadapan hadirin dilanjutkan dengan rangkaian acara
lainnya, misalkan ceramah dari Ustadz dan hiburan, seperti penampilan rebbana.
Hadirin yang datang dalam acara khataman bukan hanya dari desa tempat Masjid
itu berada saja, tetapi juga dari luar desa tersebut, keluarga besar dari para
santri, kyai-kyai, perangkat desa (lurah, kadus, dan bayan) turut
di undang dalam acara ini.
Khataman dilanjutkan dengan kemeriahan dari arak-arakan
kuda, orang Kebumen menyebutnya “iring-iringan”, yaitu pawai kuda ditunggangi
oleh para santri khotmil Qur’an, di arak keliling desa, berangkat dari Masjid
dan berakhir di Masjid pula. Diramaikan
dengan beberapa pertunjukan dan aktraksi, seperti drum band, angklung,
ondhel-ondhel, badut dan lainnya.
Tujuan dari arak-arakan kuda ini
adalah meningkatkan semangat para santri dalm belajar al-Quran, karena akan
menjadi kebanggaan tersendiri jika sudah khatam di arak naik kuda keliling
desa, hal ini juga menjadi kebanggan bagi orang tua santri dan keluarganya.
Selain itu, tujuan khataman yang disampaikan oleh Anggota Koramil Ambal dan
Kodim 0709 Kebumen, bahwa iring-iringan (arak-arakan) ini sebagai syiar Islam.
Santri yang diarak yaitu anak usia SD sampai dengan SMP, bagi yang perempuan
dirias cantik dengan mengenakan pakaian kebaya warna-warni, sedangkan yang
laki-laki mengenakan pakain khas Jawa bahkan Melayu, ditambahi dengan aksesoris
yang menarik, seperti keris dan blangkon.
Dibarisan pertama terdapat mobil
Polisi untuk melakukan pengawalan dan pengamanan kegiatan pawai khataman.
Dilanjutkan dengan grup drum band dan beberapa kendaran seperti,
odhong-odhong, kereta hias, sepeda hias, becak, delman dan mobil pick-up.
Barisan kuda menjadi bagian inti dalam pawai ini. Kuda dihias seindah mungkin,
diiringi lantunan musik tradisional bahkan populer dari alat-alat music tradisional
seperti rodad, janeng, rebana (terbangan), gong, bass, dan bedug. Kuda-kuda ber’joged’ mengikuti irama,
sesekali mereka beraktraksi seakan-akan berdiri. Kuda yang diikutkan dalam
pawai adalah kuda-kuda yang terlatih dan sehat fisiknya.
Arak-arakan ini menjadi hiburan
tersendiri bagi warga Kebumen sekaligus ajang mempererat persaudaran antar
warga, karena pada saat arak-arakan berlangsung mereka berkumpul untuk
menyaksikan arak-arakan, biasanya di pertigaan jalan tempat paling ramai dan
menjadi tempat idaman para penonton, ditempat seperti ini pasukan pawai akan
banyak beraktraksi, baik pasukan kuda,
grup drum-band, maupun grup lainnya.
Penonton arak-arakan bukan hanya dari warga setempat, tetapi
juga dari desa lain. Di barisan belakang biasanya terdapat grup angklung dan
grup rodad, pawai berlangsung selama 2-3 jam tergantung dari rute yang dilalui,
panjang pendeknya barisan pawai tergantung dari jumlah kuda yang mengikuti
arak-arakan, biasanya tidak semua santri menaiki kuda, ada pula yang naik
kereta, becak, maupun delman.
Arak-arakan kuda tidak selalu dilaksanakan siang hari, bisa
juga malam hari, jika dilaksanakan malam hari pasukan pawai akan ditambah
dengan grup abid menggantikan grup drum-band, yaitu aktraksi menggunakan
api dan obor diiringi musik rodad, dalam aktraksi abid, untuk menyalakan apinya
menggunakan minyak tanah, sehingga akhir-akhir ini jarang diadakan arak-arakan
pada malam hari, karena persediaan minyak tanah yang semakin sedikit dan
harganya mahal, hal ini bukan penyalahan terhadap praktik kebudayaan, karena
kebudayaan dipandang sebagai sesuatu yang dinamis, bukan sesuatu yang kaku dan
statis (Faisal Ismail, 1997: 27)
Arak-arakan kuda ‘joged’ dan khataman sebagai tradisi budaya
merupakan amanat dari nenek moyang dengan menitikberatkan pada pendalaman agama
dan budaya yang harus dirawat dan dijaga kemurnianya, agar dalam praktiknya
tidak menyalahi nilai, norma, dan tujuan awal. Pada hakikatnya agama identik
dengan kebudayaan, keduanya merupakan pedoman bertindak dan sebagai petunjuk
dalam kehidupan (Mundzirin Yusuf, dkk, 2005: 11), seperti halnya khataman dan
arak-arakan kuda di Kebumen. Tradisi dan budaya ini menjadi kebanggan
tersendiri bagi warga Kebumen, selain sebagi bentuk cinta budaya juga sebagai sarana syiar agama Islam.
Daftar
Referensi
Faisal, Ismail.
1996. Paradigma Kebudayaan Islam Studi Kritis dan Refleksi Historis.
Yogyakarta: Titian Ilahi Press.
Yusuf ,
Mundzirin, dkk. 2005. Islam dan Budaya Lokal. Yogyakarta: Pokja
Akademik.
Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI)
kebumenekspres.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar