Sabtu, 26 Januari 2019


                                     Merpati yang Kehilangan Sayap Kanannya

Jalan Raya Solo masih seperti kemarin, lampu rambu lalu lintasnya juga masih sama dengan tiga warna, merah, kuning, dan hijau. Hatiku sedikit gelisah ketika harus berjumpa dengan si lampu merah, aku bakal telat. Sampai di Jalan Janti aku harus berjumpa dengan lampu yang sama, payah. Astaghfirulloh, aku menggerutu, aku menarik nafas merilekskan pikiran sambil kupandang satu per satu baleho yang berjejer di tepi jalan, ada baleho iklan film, iklan produk kecantikan, iklan hotel bahkan iklan caleg juga ada, lengkap sudah. Lampu merah sudah berubah hijau aku menarik pelan gas motorku, mencoba melaju dengan tenang.

Langit sore ini terlihat sedang galau, antara iya dan tidak, antara hujan dan terang, mendung. Hatiku berbisik pada Tuhan ku “ Ya Rabb, sore ini jangan hujan dulu, agar anak-anak berangkat ke TPA”, do’aku sedikit nakal memang. Syukurlah Alloh mengabulkan doa’ku. Langit seperti ingin mencurahkan semua air matanya tetapi tertahan atas komando Rabb-Nya, thank’s God.

Glek, sampai juga di TPA tercinta, TPA Nurul Ikhsan. Sahabat berjuangku sudah duduk manis membersamai santri yang sedang bermain, mereka Wida dan Mas Iqbal (ta’mir Masjid). Aku pikir TPA sudah dimulai dari tadi, ternyata dugaanku salah. Aku semakin dibuat kaget karena ternyata santri yang berangkat baru tiga, jujur aku kecewa, hati kecilku tertawa, santrinya 3 gurunya 3, masyaalloh serasa belajar privat.
Mau tidak mau, sedikit atau sedikit sekali santrinya, TPA harus tetap berjalan, kami memulainya dengan berdo’a dilanjutkan dengan hafalan surat pendek. Datang dua santri lagi, lumayan. 5 santri cukup membuat TPA kali ini tidak memusingkan, tidak ramai, tidak bising, dan mudah dikendalikan. Tetapi bukan ini yang aku mau.

Aku merindukan tangan-tangan yang menjulur berebut tanganku padahal aku masih di atas motor, aku rindu kartu prestasi yang dijulurkan ke aku padahal helm belum lepas dari kepala, aku rindu ketika kalian berebut memimpin do’a sebelum mengaji, aku rindu kalian yang diam-diam pergi jajan ke angkringan, aku rindu kalian bercerita tentang kejadian di sekolahan siang tadi, aku rindu kalian menceritakan segudang prestasi di sekolahan, aku rindu kalian yang tiba-tiba memelukku, aku rindu kalian yang tiba-tiba ada dipunggungku minta digendong, aku rindu kalian berebut untuk duduk dipangkuanku, aku rindu jeritan kalian ketika bermain kejar-kejaran, aku rindu ketika kalian manja tidak mau mengaji minta dirayu, aku rindu ketika kalian jahil dan bikin ramai satu TPA, ahh, aku rindu. Dimana kalian?. Apakah sudah melebur dengan robot game online?, semoga belum.

Hari ini aku belajar bersyukur, ternyata TPA Nurul Ikhsan yang dulu, TPA yang santrinya suka ramai, santrinya suka bikin onar, santrinya suka kabur ke angkringan, santrinya suka berkelahi, dan hal lain sebagainya itu adalah sebagian dari kebahagiaanku, nyatanya dengan segala kondisi sekaraang yang begitu damai dan santrinya mudah diatur justru memudarkan kebahagiaanku karena aku kehilangan santri yang lain.
Ini bukan hal yang terjadi secara tiba-tiba, jumlah santri semakin berkurang sudah terjadi selama 1 bulan terakhir ini, segala upaya untuk menciptakan pembelajaran yang menarik sudah dilakukan, dari memberikan penghargaan kepada santri terrajin sampai program taman gizi, tapi gagal, kebanyakan santri berangkat ketika ada taman gizi saja, kalau orang bisnis bilang, ini salah strategi.

Sebagian mereka lebih memilih bermain HP dari pada harus mengaji ke TPA. Banyak alasan yang dilontarkan, misalnya pulang sekolah sudah sore jadi capai kalau harus berangkat ke TPA juga. Jujur aku kecewa, aku pikir, seharusnya ada sistem yang rapi, harus ada kerja sama antara pengurus TPA dan wali santri, bagaimana pun apa yang dilakukan kita (pengurus TPA) divisikan untuk kecakapan mereka dalam ilmu agama, terutama membaca al-Qur’an. Bagaimana bisa orang tua membiarkan anaknya main lalu lalang sampai maghrib tanpa kejelasan tujuan, bagaimana bisa orang tua membiarkan anaknya bermaiBagaimana bisa orang tua membiarkan anaknya main lalu lalang sampai maghrib tanpa kejelasan tujuan, bagaimana bisa orang tua membiarkan anaknya bermain HP berjam-jam tanpa mengetahui apa yang mereka akses, bagaimana bisa orang tua membiarkan anaknya terbata-bata dalam membaca kalam mulia, kalam Ilahi?.

Hati kecilku merintih, terasa tidak ada lagi energi, aku sempat berfikir “Kenapa harus berjuang memperjuangkan diri orang lain yang mereka saja tidak memperjuangkan dirinya?”. Hem, tapi aku sadar dan membenarkan apa yang disampaikan Ustadz, jalan dakwah itu terjal dan menyakitkan karena yang enak itu di surga, haha.
Aku kembali berfikir, jika sekolahan dalam artian disini adalah TPA dikiaskan sebagai burung merpati, maka sayap kanannya adalah wali murid/santri sedangkan sayap kirinya adalah guru. Jika sayap kanan patah, sekuat apapun sayap kiri mengepak ia akan tetap jatuh. Lantas jika TPA/sekolah tanpa ada dukungan dari wali santri/murid apakah burung merpati akan tetap terbang hanya dengan satu sayap?, tidak, ia akan jatuh lagi.

Maguwoharjo,23 Januari 2019
Malam ketika aku mencoba mengais enegi untuk merekatkan sayap kanan.
Erna Tokk


Tidak ada komentar:

Posting Komentar